![[IMG]](http://img.okezone.com/content/2016/01/06/18/1282199/kisah-muslim-selamatkan-umat-yahudi-di-serangan-paris-InbFNPYto3.jpg)
Lassana Bathily bersama dengan Menteri Dalam Negeri Prancis Bernard Cazeneuve saat diberikan kewarganeraan Prancis atas perbuatannya. (Foto: Reuters)
PARIS – Lassana Bathily adalah warga pendatang tidak berdokumen dari Mali yang menjadi pahlawan dengan menyelamatkan jiwa seorang pembeli saat serangan kelompok garis keras atas pasar swalayan Yahudi di Paris pada awal tahun lalu.
Pria berusia 25 tahun itu menjadi salah satu cerita baik, yang muncul dari tiga hari kekerasan pada Januari 2015 ketika anggota kelompok garis keras menyerang kantor majalah mingguan satir Charlie Hebdo, polisi, dan swalayan Yahudi bernama Hyper Cacher yang menewaskan 17 orang.
"Ah, ini dia orang Prancis favorit saya," kata Presiden Francois Hollande sambil berteriak ketika menerima Bathily di Istana Elysee dua pekan setelah pembantaian itu.
Bathily, yang bekerja sebagai penyusun dagangan di rak swalayan tersebut, menyelamatkan pengunjung dari pria bersenjata Amedy Coulibaly pada 9 Januari 2015.
Cerita Bathilly yang menyelamatkan Yahudi dari ekstremis itu menjadikannya simbol kebaikan dalam keberagaman warga Prancis.
Tetapi, seperti yang dia tulis di bukunya, ‘Im Not a Hero’ (Aku Bukan Pahlawan), yang dijadwalkan diluncurkan pada Rabu 6 Januari, kepahlawanan menjadi mantel tidak nyaman bagi dirinya.
"Pagi esoknya, saya membuka Facebook, dan 800 orang meminta saya menjadi teman," kata Bathily kepada AFP.
"Pada hari-hari berikutnya saya mengatakan: ‘Tidak, sayabukan pahlawan. Saya melakukan hal yang semestinya dilakukan’," ucapnya.
Bathily hanya beberapa menit menjelang akhir jam kerjanya di pasar swalayan tersebut. Saat itu dia sedang membongkar barang beku di ruang bawah tanah. Ketika mendengar tembakan, dia kebingungan dan melihat ke atas. Saat itu sekira 12 orang melarikan diri dengan menuruni tangga.
Pria berusia 25 tahun itu menjadi salah satu cerita baik, yang muncul dari tiga hari kekerasan pada Januari 2015 ketika anggota kelompok garis keras menyerang kantor majalah mingguan satir Charlie Hebdo, polisi, dan swalayan Yahudi bernama Hyper Cacher yang menewaskan 17 orang.
"Ah, ini dia orang Prancis favorit saya," kata Presiden Francois Hollande sambil berteriak ketika menerima Bathily di Istana Elysee dua pekan setelah pembantaian itu.
Bathily, yang bekerja sebagai penyusun dagangan di rak swalayan tersebut, menyelamatkan pengunjung dari pria bersenjata Amedy Coulibaly pada 9 Januari 2015.
Cerita Bathilly yang menyelamatkan Yahudi dari ekstremis itu menjadikannya simbol kebaikan dalam keberagaman warga Prancis.
Tetapi, seperti yang dia tulis di bukunya, ‘Im Not a Hero’ (Aku Bukan Pahlawan), yang dijadwalkan diluncurkan pada Rabu 6 Januari, kepahlawanan menjadi mantel tidak nyaman bagi dirinya.
"Pagi esoknya, saya membuka Facebook, dan 800 orang meminta saya menjadi teman," kata Bathily kepada AFP.
"Pada hari-hari berikutnya saya mengatakan: ‘Tidak, sayabukan pahlawan. Saya melakukan hal yang semestinya dilakukan’," ucapnya.
Bathily hanya beberapa menit menjelang akhir jam kerjanya di pasar swalayan tersebut. Saat itu dia sedang membongkar barang beku di ruang bawah tanah. Ketika mendengar tembakan, dia kebingungan dan melihat ke atas. Saat itu sekira 12 orang melarikan diri dengan menuruni tangga.
Coulibaly, yang mengaku bekerja atas nama kelompok Negara Islam, menyandera beberapa pembeli sandera dan memerintahkan kasir untuk pergi mengumpulkan yang lain.
Beberapa dari mereka yang meringkuk di lantai bawah mematuhi perintahnya, tetapi yang lain menolak untuk pergi, dan Bathily mendesak mereka menggunakan lift barang untuk melarikan diri.
Ketika tak satu pun mau mengambil risiko, dia menggiring mereka ke dalam ruangan pendingin, mematikan lampu dan motor ruangan itu, dan kemudian membuat skenario penyelamatan diri melalui lift dan tangga darurat.
"Jantung saya berdetak kencang. Saat itu saya takut terdengar olehnya," kata Bathily.
Setelah di luar, dia membantu polisi memberikan sketsa tata letak toko dan menyiapkan serangan mereka. Beberapa jam kemudian, para pelaku menyerbu masuk dan menembak mati Coulibaly.
Ada yang mengatakan peran Bathily dibesar-besarkan media dan pejabat yang lapar akan pemberitaan baik.
"Media dan pejabat menginginkan gambaran yang baik bahwa dia menolong kami dari tangga, dia menyembunyikan kita, dan sebagainya. Yang sebenarnya tidak benar, tetapi itu bukan kesalahan Lassana saat itu kami membutuhkan pahlawan," kata salah satu mantan sandera kepada surat kabar Liberation.
Bathily tidak terganggu dengan pernyataan kontra tersebut. "Jika sekarang mengatakan bahwa saya tidak melakukan apa pun untuk mereka, itu masalah mereka. Saya tidak mau ikut-ikutan."
Penyambutan
Beberapa hari setelah penyerangan, Bathily diberi kewarganegaraan Prancis secara langsung oleh Presiden Hollande. Hal tersebut menjadi yang diimpikannya sejak kecil saat dia dibesarkan di desa kecil di perbatasan Mali-Senegal.
Tetapi, Bathily mengabaikan penghargaan tertinggi Prancis Legion d’Honneur.
Dia kembali ke penyambutan dirinya di Mali, tempat dia ditawari menginap di hotel papan atas dan diundang Presiden Ibrahim Boubacar Keita.
Bathily mendirikan kelompok bantuan untuk menyediakan sarana dasar bagi desanya yang ditinggalkannya saat dia berusia 16 untuk mencari pekerjaan di Paris.
Namun, dia sebenarnya mengalami trauma untuk kembali ke Prancis. Dia kehilangan teman terdekatnya, Yohan Cohen –di salah satu dari empat yang dibunuh Coulibaly pada hari itu– dan beberapa hari kemudian, dia mendengar adik laki-lakinya Boubakar meninggal karena sakit berkepanjangan.
Selain itu, pengingat kematian akan ancaman teroris sepertinya memantapkan hidupnya.
Bathily hanya berada 300 meter dari tempat Bataclan di Paris ketika terjadi penyerangan pada 13 November.
"Saya lari seperti orang lain, tapi terjebak, dan saya tidak bisa pulang hingga pukul 05.00," kata dia.
Hanya sepakan setelahnya, ekstremis bersenjata menyerang Hotel Radisson Blu di Bamako, ibu kota Mali, yang ditempatinya selama kembali ke negara asalnya.
Meski begitu, Bathily tetap optimis. "Bukan teroris yang membunuh. Jika Tuhan memutuskan bahwa saya mati, maka saya akan mati, bukan teroris yang memutuskan."
Mendapat publikasi besar-besaran memberikan dia sejumlah manfaat, seperti diberi perumahan sosial baru dan pekerjaan di Balai Kota Paris.
Saat ini, dia sekolah dan bercita-cita menjadi guru. "Saya hanya meneruskan hidup, melanjutkan yang saya lakukan dulu," kata dia, "Kita harus menunjukkan kesetiakawanan, tetap bersatu, maka ada harapan," katanya, seperti dikutip dari AFP.
(dka)
http://news.okezone.com/read/2016/0...lamatkan-umat-yahudi-di-serangan-paris?page=2
Beberapa dari mereka yang meringkuk di lantai bawah mematuhi perintahnya, tetapi yang lain menolak untuk pergi, dan Bathily mendesak mereka menggunakan lift barang untuk melarikan diri.
Ketika tak satu pun mau mengambil risiko, dia menggiring mereka ke dalam ruangan pendingin, mematikan lampu dan motor ruangan itu, dan kemudian membuat skenario penyelamatan diri melalui lift dan tangga darurat.
"Jantung saya berdetak kencang. Saat itu saya takut terdengar olehnya," kata Bathily.
Setelah di luar, dia membantu polisi memberikan sketsa tata letak toko dan menyiapkan serangan mereka. Beberapa jam kemudian, para pelaku menyerbu masuk dan menembak mati Coulibaly.
Ada yang mengatakan peran Bathily dibesar-besarkan media dan pejabat yang lapar akan pemberitaan baik.
"Media dan pejabat menginginkan gambaran yang baik bahwa dia menolong kami dari tangga, dia menyembunyikan kita, dan sebagainya. Yang sebenarnya tidak benar, tetapi itu bukan kesalahan Lassana saat itu kami membutuhkan pahlawan," kata salah satu mantan sandera kepada surat kabar Liberation.
Bathily tidak terganggu dengan pernyataan kontra tersebut. "Jika sekarang mengatakan bahwa saya tidak melakukan apa pun untuk mereka, itu masalah mereka. Saya tidak mau ikut-ikutan."
Penyambutan
Beberapa hari setelah penyerangan, Bathily diberi kewarganegaraan Prancis secara langsung oleh Presiden Hollande. Hal tersebut menjadi yang diimpikannya sejak kecil saat dia dibesarkan di desa kecil di perbatasan Mali-Senegal.
Tetapi, Bathily mengabaikan penghargaan tertinggi Prancis Legion d’Honneur.
Dia kembali ke penyambutan dirinya di Mali, tempat dia ditawari menginap di hotel papan atas dan diundang Presiden Ibrahim Boubacar Keita.
Bathily mendirikan kelompok bantuan untuk menyediakan sarana dasar bagi desanya yang ditinggalkannya saat dia berusia 16 untuk mencari pekerjaan di Paris.
Namun, dia sebenarnya mengalami trauma untuk kembali ke Prancis. Dia kehilangan teman terdekatnya, Yohan Cohen –di salah satu dari empat yang dibunuh Coulibaly pada hari itu– dan beberapa hari kemudian, dia mendengar adik laki-lakinya Boubakar meninggal karena sakit berkepanjangan.
Selain itu, pengingat kematian akan ancaman teroris sepertinya memantapkan hidupnya.
Bathily hanya berada 300 meter dari tempat Bataclan di Paris ketika terjadi penyerangan pada 13 November.
"Saya lari seperti orang lain, tapi terjebak, dan saya tidak bisa pulang hingga pukul 05.00," kata dia.
Hanya sepakan setelahnya, ekstremis bersenjata menyerang Hotel Radisson Blu di Bamako, ibu kota Mali, yang ditempatinya selama kembali ke negara asalnya.
Meski begitu, Bathily tetap optimis. "Bukan teroris yang membunuh. Jika Tuhan memutuskan bahwa saya mati, maka saya akan mati, bukan teroris yang memutuskan."
Mendapat publikasi besar-besaran memberikan dia sejumlah manfaat, seperti diberi perumahan sosial baru dan pekerjaan di Balai Kota Paris.
Saat ini, dia sekolah dan bercita-cita menjadi guru. "Saya hanya meneruskan hidup, melanjutkan yang saya lakukan dulu," kata dia, "Kita harus menunjukkan kesetiakawanan, tetap bersatu, maka ada harapan," katanya, seperti dikutip dari AFP.
(dka)
http://news.okezone.com/read/2016/0...lamatkan-umat-yahudi-di-serangan-paris?page=2