Areal Penambangan Freeport di Papua yang Menyisakan Lubang sedalam 360 meter
viva.co.id − Freeport bukan sekadar hitung-hitungan investasi ekonomi, melainkan merupakan mata-rantai investasi politik dan simbol penjajahan ekonomi Amerika Serikat di Papua. Alhasil, benturan antara kepentingan nasional NKRI versus kepentingan asing, tak terhindarkan lagi. Beranikah Presiden Jokowi ambil sikap tegas hentikan kontrak karya sekaligus menasionalisasi Freeport?
Sejak Indonesia merdeka dari jajahan Belanda pada 17 Agustus 1945, Papua merupakan wilayah yang jadi sasaran strategis pemerintahan Amerika Serikat yang mewakili kekuatan-kekuatan korporasi global di belakangnya. Bahkan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton di Foreign Affairs magazine sempat menyebut judul artikel yang ditulisnya “Americas’s Pacific Century” yang secara tersirat adanya design besar untuk menguasai provinsi Papua berikut sumber daya alamnya yang kaya emas dan tembaga itu.
Desakan kalangan korporasi global di Washington untuk memperpanjang kontrak karya Freeport barang tentu tak bisa dilepaskan dari kepentingan nasional AS untuk menguasai sektor energi/migas maupun tambang batubara. Seperti doktrin mantan Menteri Luar Negeri Henri Kissinger: "Jika anda menguasai sektor energi dan migas, maka anda menguasai negara. Jika anda menguasai sektor pangan dan pertanian, maka anda menguasai kehidupan rakyat.”
Maka Papua, jadi pertaruhan besar bagi AS untuk dipertahankan karena kaya akan kandungan sumberdaya alam di bidang energi dan tambang batubara. Bukan itu saja. Sebagai pemasok sumberdaya alam, Indonesia dipandang menguntungkan bagi pengembangan industri Amerika Serikat. Diperkirakan hingga kini sudah lebih dari 300 perusahaan milik AS yang beroperasi di Indonesia, yang sebeagian besar dana investasinya ditanam pada perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan dan energi.
Di sinilah Papua sebagai salah satu daerah penghasil sumberdaya alam di Indonesia, jadi amat penting bagi AS. Bukti nyata adalah beroperasinya beberapa perusahaan pertambangan dan energi AS di Papua seperti: PT Freeport McMoran, Conoco Philips, dan British Petroleum.
Namun sepak-terjang Freeport lah yang paling spektakuler sekaligus menggambarkan dirinya sebagai VOC gaya baru di Indonesia. Aktivitas pertambangan PT Freeport McMoran Indonesia, teristimewa Freeport di Papua dimulai sejak 1967 berdasarkan Undang_undang No 1 mengenai Penanaman Modal Asing, dan masih berlangsung hingga sekarang, yang berarti sudah 48 tahun. Hampir setengah abad. Namun meskipun selama kegiatan bisnis dan ekonomi Freeport di Papua telah mencetak keuntungan finansial yang besar bagi perusahaan asing, tapi hingga sekarang belum memberikan manfaat optimal bagi negara kita, Papua, maupun masyarakat lokal di sekitar wilayah pertambangan.
Mari kita telusur dulu sejarahnya. Begitu mendapat Kontrak Karya, Freeport dapat konsesi penambangan di wilayah seluas 24.700 acres atau seluas kurang lebih 1000 hektar lahan. Masa berlaku kontrak karya yang pertama adalah 30 tahun. Pada 1991, kontrak karya diperpanjang jadi 30 tahun dengan opsi perpanjangan 2 kali 10 tahun. Sehingga kontrak karya tersebut akan berakhir pada 2021 jika pemerintah Indonesia menolak usul perpanjangan.
Sepak-terjang Freeport di Papua dimulai sejak 1967 (48 tahun) sekaligus menggambarkan dirinya sebagai VOC gaya baru di Indonesia
Bagi AS hal ini jelas merupakan perkembangan yang cukup menghawatirkan mengingat kenyataan bahwa sejak kontrak karya diperpanjang oleh pemerintah Indonesia pada 1991, ternyata luas penambangan Freeport bertambah, dengan adanya Blok B seluas 6,5 juta acrs atau seluas 2,6 hektar lahan. Dari Blok B ini yang sudah dilakukan adalah kegiatan eksplorasi seluas 500 ribu acres atau sekitar 203 ribu hektar lahan.
Dilihat dari sudut pandang kepentingan strategis AS, bisa dikatakan situasi Papua di tempat Freeport beroperasi, dalam keadaan siaga satu. Betapa tidak. Saat ini di Darwin ditempatkan sekitar 22.750 personil pasukan Navy Seal AS, yang notabene dalam struktur kemiliteran AS dipandang sebagai “angkatan keempat” dan punya fungsi sebagai pasukan penyerbu, pasukan perintis dan pembuka jalan. Sekadar informasi, jarak tempuh Darwin ke Papua hanya 820 km. Tak heran jika pakar pertahanan Australia Profesor Dr Robin Tennant Wood dari Canberra University menilai bahwa penempatan 22.750 pasukan Navy Seal di Darwin itu merupakan ancaman terhadap Papua dan keutuhan NKRI.
Bagi AS dan kepentingan-kepentingan korporasi-korporasi tambang dan batubara yang berada dalam kendali kekuasaan dinasti Rockefeller, Papua memang sasaran strategis dan vital. Maka, memperpanjang kontrak karya Freeport dengan pemerintah Indonesia, jadi masalah yang amat mendesak bagi Washington.
Betapa tidak. Sejak Maret 1973, Freeport mulai pertambangan terbuka di Ertsberg, kawasan yang selesai ditambang pada 1980-an dan menyisakan lubang sedalam 360 meter. Pada 1988, Freeport mulai mengeruk cadangan raksasa lainnya, Grasberg, yang masih berlangsung hingga kini.
Dari kedua eksploitasi di kedua wilayah ini, sekitar 7,3 juta ton tembaga dan 724,7 juta emas telah mereka keruk. Pada Juli 2005, lubang tambang Grasberg telah mencapai diameter 2,4 km pada daerah seluas 499 hektar dengan kedalam 800 m2.
Aktivitas Freeport yang berlansung dalam kurun waktu lama ini telah menimbulkan berbagai masalah, terutama dalam hal penerimaan negara yang tidak optimal, minimnya peran negara melalui BUMN dan BUMD untuk ikut mengelola tambang serta dampak lingkungan yang cukup menghancurkan dengan rusaknya bentang alam pengunungan Grasberg dan Ertsberg.
Belum lagi fakta bahwa melalui kontrak karya tersebut, betapa kecilnya royalty yang diterima oleh Indonesia. Betapa tidak. Untuk tembaga misalnya, kita hanya dapat royalty sebesar 1,5 persen dari harga jual, sedangkan untuk emas dan perak kita hanya dapat royalty sebesar 1 persen dari harga jual. Keterlaluan memang.
Bahkan kontrak karya Freeport juga telah menabrak Undang-Undang No 5/1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria. Dalam UU tersebut, ditegaskan bahwa negara mengakui hak-hak adat sedangkan kontrak karya I Freeport justru memberikan konsesi yang terletak di atas tanah adat.
Lebih gilanya lagi, dalam salah satu klausul kontrak karyanya, Freeport diperkenankan untuk memindahkan penduduk yang berada dalam area kontrak karyanya. Alhasil, isu lingkungan seringkali mencuat dalam kasus Freeport. Apalagi ketika tanah adat 7 suku yang antara lain adalah suku Amungme, diambil dan dihancurkan pada saat Freeport beroperasi.
Namun di atas semua itu, kontribusi Freeport terhadap pemerintah Indonesia baik royalty, iuran tetap, pajak serta dividen, Indonesia benar-benar dalam posisi yang dirugikan. Untuk royalty hanya dapat 1 persen (emas dan perak) serta 1-3,5 persen (untuk tembaga).
Kalau kita merujuk pada press release dari Freeport selama 2010 sampai dengan Juni, mereka mengklaim sudah memberikan kontribusi sebesar 899 juta dolar AS. Jika dihitung dari tahun 1992 (setelah kontrak karya kedua ditandatangani) kontribusi mencapai 10,4 milyar (royalty sebesar 1,1 milyar dolar AS dan dividen sebesar 1 milyar dolar AS).
Selintas, angka di atas kelihatan besar sekali. Karena itu berarti total kontribusi mencapai Rp 90 triliun. Tapi sesungguhnya itu kecil, karena sebenarnya kontribusi nyata mereka adalah di dividend an royalty yang nilainya hanya mencapai sekitar Rp 18 triliun selama 18 tahun. Tegasnya, pihak Indonesia mendapatkan perolehan keuntungan yang kecil sekali.
Melalui perolehan keuntungan yang sangat besar seperti itu, ternyata hanya sebagian kecil pendapatan yang masuk ke kas negara dibandingkan keuntungan yang diperoleh Freeport. Bahkan kehadiran Freeport tidak mampu menyejahterakan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan tersebut. Padahal, saat ini Freeport mengelola tambang terbesar di dunia di berbagai negara, yang didalamnya termasuk 34,5 persen tembaga dan 96,73 persen cadangan emas.
Yang lebih menyedihkan lagi, jumlah volume emas yang ditambang Freeport selama 21 tahun tersebut ternyata tidak pernah diketahui publik. Sehingga sempat mengundang kecurigaan kalangan DPR pada 2014 lalu bahwa jangan-jangan ada manipulasi dana atas potensi produksi emas Freeport. Bahkan DPR komisi VI pada waktu itu sempat tidak percaya atas data kandungan konsentrat yang diinformasikan secara sepihak oleh Freeport.
Meski kita tidak tahu persis jumlah volume emas yang ditambang Freeport selama 21 tahun, namun kenyataannya saat ini Freeport merupakan perusahaan emas penting di Amerika yang merupakan penyumbang emas nomor 2 di Amerika setelah Newmont.
Inilah latarbelakang mengapa keluar UU No 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, yang pada intinya UU tersebut melarang ekspor konsentrat yang belum diolah melalui pabrik olahan atau smelter. Jika UU tersebut dijalankan secara konsisten, perusahaan-perusahaan tambang asing seperti Freeport dan Newmont yang paling akan terkena dampak secara langsung mengingat selama ini Freeport tidak pernah transparan dan terbuka dalam menginformasikan berapa sesungguhnya kekayaan yang berhasil mereka raup dari penambangnya di Papua.
Sayangnya, ketika UU tersebut harus diberlakukan pada 2014, terjadilah penghianatan yang dilakukan oleh pemerintahan SBY. Melalui keluarnya Peraturan Menteri ESDM No. 01/2014, Permen tersebut malah dibuat untuk memberikan hak—hak istimewa yang disamarkan kepada Freeport dan Newmont.
Alhasil, Permen O1/2014 itu hakekatnya telah menghancurkan jiwa pasal 33 UUD 1945 yang telah dijabarkan melalui UU Nomor 4 tahun 2009.